Dialog dengan Allah

Kebaktian bukan sekedar kewajiban, seremonial atau rutinitas belaka. Sammy Tippit dalam buku “Jumpa Tuhan Dalam Ibadah” menyatakan “Ibadah belumlah ibadah bila tak mengalami perjumpaan pribadi dengan Tuhan.” Senada dengan itu, Martin Luther nengatakan “Ibadah yang hidup adalah ibadah yang terdapat dialog antara Allah & jemaat”. Jadi hakikat kebaktian adalah jemaat datang untuk menyembah Tuhan & bersyukur atas segala perbuatan Tuhan; dan Tuhan hadir untuk menjumpai umat-Nya.

Kel. 24:1-11 mengisahkan tentang pertemuan Allah dengan Musa, Harun, Naab, Abihu dan 70 tua-tua Israel di Gunung Sinai. Seorang teolog Kristen, Warren Webber menyatakan bahwa pertemuan itu terdapat struktur dasar yang sangat penting bagi ibadah umum, yang kemudian akan ditentukan detailnya dalam ibadah Yahudi & Kristen. Ada 5 elemen dasar dalam struktur sebuah kebaktian/liturgi:

  • Undangan Allah. Allah yang memanggil (mengundang) umat-Nya untuk bertemu dengan-Nya (ay.1). Allah Pencipta & Maha Kuasa, berkenan mengundang dan bertemu dengan kita; di dalam kasih karunia Tuhan Yesus. Di dalam liturgi kita (KU1), kebaktian dimulai dengan panggilan berbakti; yang merupakan panggilan /undangan dari pihak Tuhan kepada kita. Dan kita menyikapi panggilan ini dengan Votum yakni dekralasi/pengakuan bahwa kebaktian ini terjadi karena Tuhan & Ia telah hadir di tengah jemaat.
  • Partisipasi jemaat (ay.3b,5 & 7).

Umat Tuhan diatur dalam satu tanggungjawab terstruktur. Musa adalah pemimpin ibadah, menyampaikan firman. Harun, Nadap dan Abihu (kaum Lewi/imam) bertugas untuk mengatur ibadah dan lain-lainnya. Tujuh puluh tua-tua Israel terlibat aktif dalam penyembahan & memberi respon dalam alur ibadah (lihat ay.3b, 5 & 7). Banyak orang memiliki konsep yang keliru tentang kebaktian; memandangnya seperti pertunjukan teater. Yang menjadi aktor adalah pendeta dan pelayan ibadah lainnya. Anggota jemaat sebagai penonton. Dan yang menjadi sutradaranya adalah Tuhan. Konsep ini keliru! Soren Kierkegaard, seorang teolog Eropa abad ke-19, mengatakan bahwa dalam ibadah Kristen, aktornya adalah jemaat. Sutradaranya adalah para pemimpin ibadah (pendeta, liturgos, pemusik), sedangkan penontonnya adalah Tuhan! Tata ibadah (“liturgi”) adalah skenario drama yang harus dimainkan oleh anggota jemaat sebagai para pemeran. Oleh karena semua anggota jemaat harus terlibat secara aktif, maka perlu ditentukan kapan giliran mereka berpartisipasi dalam ibadah dan bagaimana bentuk partisipasi itu (apakah menyanyi, berdoa, memberi persembahan, dll). Dari sini muncullah apa yang disebut dengan tata ibadah, yang sering kita sebut liturgi. Di dalam liturgi gereja kita telah dibuat alur sedemikian rupa sehingga mulai dari awal hingga akhir mencerminkan kesatuan dialog yang utuh antara Tuhan dan jemaat; dan mengatur pula perhatian (dialog) antar jemaat (warta, pengakuan iman, doa syafaat).

  • Pemberitaan Firman. (ay.3, 7)

Dengan perantaraan Musa, Allah berbicara kepada umat-Nya dan memperkenalkan diri-Nya. Webber: Pertemuan Allah dan umat bersifat proklamasi Firman. Ibadah belumlah lengkap tanpa mendengar firman Tuhan. Firman menjadi pusat dalam kebaktian

  • Pembaharuan Komitmen (ay.3b, 7b)

Umat mendengar, menerima dan berkomitmen menaati firman. Umat memperbaharui janji yang telah ada antara Allah dan umat-Nya. Dalam kebaktian kita harus membuka hati terhadap kebenaran firman, siap dibentuk oleh Tuhan dan berkomitmen melakukan setiap perkataan Tuhan yang disampaikan melalui hamba-Nya.

  • Persekutuan saudara seiman (ay.11b)

Perjumpaan dengan Tuhan seharusnya mempererat relasi antar umat Tuhan. Firman diresponi secara pribadi (transformasi hidup) dan berdampak kepada sesama (terutama kepada saudara seiman). Kebaktian bukan hanya berdampak personal holiness namun juga social holiness

 

Kesimpulan: Karena Allah hadir dalam kebaktian maka semua unsur dalam ibadah perlu dipersiapkan dengan baik. Semua yang terlibat dalam pelayanan: pengkhotbah, liturgos, pemusik, paduan suara, penyambut, kolektan, petugas multi media dan sebagainya perlu mempersiapkan diri dan dipersiapkan dengan sebaik-baiknya. Setiap nggota jemaat menghargai dan menghormati kehadiran Tuhan. Tidak membiarkan Tuhan menunggu kedatangan kita. Tidak “memotong/mengganggu” dialog  denganTuhan melalui aktivitas lain yang tak ada hubungannya dengan ibadah (mengobrol dengan sesama, HP, WA, dsb). Tidak “meninggalkan” dialog dengan Tuhan atau pulang sebelum kebaktian selesai.

You might also enjoy

Kelemahlembutan Ayah

Kelemahlembutan seringkali diidentikkan dengan kepribadian seorang wanita yang keibuan. Padahal