Spiritualitas Seorang Pelayan

Berbicara soal pelayanan, ada begitu banyak komentar orang-orang Kristen ketika diajak untuk pelayanan, misalnya: “Rasanya pelayanan aku sudah cukup. Saya sudah banyak kerjakan pelayanan, sekarang biarkan yang lain saja yang melayani. Lagipula.. Saya juga sudah lelah.” Ada pula komentar lain: “jangan pilih saya deh, toh masih banyak orang lain yang jauh lebih jago dan lebih senior. Pilih mereka saja.” Komentar lain yang kesannya lebih rohani: “Saya merasa belum layak, masih bergumul dengan banyak dosa.”  Selain keluhan-keluhan tentang kelelahan pelayanan, tidak jarang banyak orang Kristen yang meskipun telah melayani sesuai dengan talenta merasa kerohaniannya tidak bertumbuh. Lalu, apa yang sebenarnya menjadi masalah dalam pertumbuhan spiritual seorang pelayan?

Bagaimana cara kita memandang dunia kita akan menentukan apa yang akan kita lakukan.  Dalam pemahaman kita pada umumnya, kita sering berpikir bahwa jadi orang Kristen harus melayani, kalau tidak melayani maka akan dihakimi dan akhirnya kita melayani karena terpaksa. Mengapa kita akhirnya berpikir demikian? Karena penghayatan kita terhadap iman kepercayaan kita yang keliru.

Dasar seseorang percaya kepada Tuhan adalah dari Yohanes 3:16, “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal. Supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.”  Hidup kekal yang kita dapatkan terjadi karena besar kasih Allah kepada kita, bukan karena apa yang sudah kita miliki atau apa yang kita lakukan setelah kasih yang besar itu diberikan kepada kita.

Setelah mengalami kasih Tuhan yang besar, kita hanya perlu satu hal lain untuk menjadi seorang Kristen yang utuh, yaitu seperti yang dilakukan oleh Henokh, “ Henokh hidup bergaul dengan Allah, lalu ia tidak ada lagi, sebab ia telah diangkat oleh Allah” (Kejadian 5:24). Catatan tentang bagaimana Henokh hidup, tidak banyak dijelaskan oleh Alkitab.  Tapi, satu hal yang jelas dan pasti, dia hidup bergaul dengan Allah dan Tuhan berkenan atas dirinya. Hidup bergaul dengan Allah itu seperti jatuh cinta, yaitu attention abnormally.  Kita memfokuskan pandangan atau perhatian pada apa yang dicintai.  Cinta tidak selalu berjalan mulus (terus-terusan sayang). Kadang-kadang bisa marah, kecewa, kadang senang, bahagia.  Jika cinta manusia bukan cinta yang sempurna, ingatlah bahwa God is the Great Lover.  Tuhan adalah Tuhan yang selalu hadir di sepanjang kehidupan kita, karena cinta-Nya kepada kita, Ia terus menempatkan fokus-Nya kepada kita, tetapi kira yang sering kali tidak merasakan Ia hadir bagi kita.  Hidup bergaul dengan Allah jika ingin disederhanakan maka menjadi “Spiritual.”  Spiritual tanpa S-P-I maka hanya menjadi ritual. S-P-I itu adalah Silence – Presence – Intimacy.  Relasi dengan Tuhan harus senantiasa dipelihara dengan S-P-I, kalau tidak ada maka semua hal yang kita kerjakan hanya akan menjadi ritual yang membuat kita lelah

You might also enjoy

Kelemahlembutan Ayah

Kelemahlembutan seringkali diidentikkan dengan kepribadian seorang wanita yang keibuan. Padahal